Wednesday, September 3, 2014

DWIFUNGSI ABRI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN SOEHARTO




Written by :
Ajeng Dwiyani Khoirunnisa
Detin Novitasari
Dyah Intan
M. Irfan Ardhani
Meilinda Sari Yayusman
Reynaldo Apriyandi Litobing
Rizca Hikmah Hijria
Yoga Tri Waskito
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran tentara memang tidak bisa terlepas dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia karena pada faktanya mereka-lah yang merupakan ujung tombak kedaulatan dan memperjuangkan kebebasan dari penindasan penjajah di masa lampau. Transformasi lembaga militer di Indonesia pada era pasca kemerdekaan sangat dinamis, contohnya saja kehadiran TKR yang selanjutnya berubah menjadi TRI, AURI, ALRI, dll. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia sendiri sebenarnya para perwira militer sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner . Pada bulan Juli 1958, militer diakui sebagai kekuatan politik dan tidak sedikit dari mereka yang mampu menempati singgasana-singgasana birokrat dan terjun dalam politik kenegaraan.
Dengan meletusnya kudeta Gerakan 30 September PKI, peran serta militer dalam dunia politik semakin mantap. Hal ini
berkaitan dengan fakta bahwa ABRI sendiri sebenarnya sejak awal sangat menentang kehadiran PKI yang mereka nilai sebagai ancaman yang sangat potensial terhadap kelangsungan bangsa terkait dengan sifatnya yang Atheis, Non-Nasionalis, Komintern, dan menganut doktrin perjuangan kelas yang saelalu mengadu domba/memecah belah, hal ini tentunya melanggar prinsip persatuan yang diusung oleh Pancasila . Kudeta tersebut merupakan pukulan keras bagi Presiden Soekarno yang mana pada masa sebelumnya telah menunjukkan sikap dukungan dan terkesan melindungi eksistensi PKI sendiri. Kemudian, hal tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya “Supersemar” yang menandakan turunnya Soekarno dari jabatan kepresidenan dan digantikan oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto yang notabene memiliki latar belakang militer yang kental, maka tidak heran apabila sepak terjang ABRI dalam sektor politik semakin pesat di era-era berikutnya.
Dari asumsi di atas, ABRI sebenarnya memiliki dua peranan yang cukup signifikan dan seringkali dikenal dengan “dwifungsi ABRI”, yakni selain sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, ABRI juga merupakan kekuatan sosial-politik . Istilah dwifungsi yang menjadi dasar legitimasi bagi peran sosial-politik angkatan bersenjata sendiri mulai berkembang dan populer pada masa Orde Baru. Ini diawali dari konsepsi Nasution tentang “Jalan Tengah” ABRI pada 1958, yang intinya tentang pemberian kesempatan kepada ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik bagsa untuk berperan serta di dalam pemerintahan atas dasar “Asas Negara Kekeluargaan” . Ditambah lagi dengan fakta pada Agustus tahun 1966, ABRI menyatakan kepeduliannya untuk ikut mengatasi tiga masalah nasional, yakni stabilitas sosial politik, stabilitas sosial ekonomi, dan kedudukan serta peran ABRI dalam revolusi Indonesia sebagai kekuatan revolusi, alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara . Dengan kata lain, ABRI ingin mengutarakan etikatnya untuk tidak sekedar berperan dalam dunia militer-hankam saja, namun meluas pada bidang sosial-politik karena keduanya saling berkesinambungan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa konsepsi Dwifungsi ABRI sangat kental pada era Soeharto?
2. Bagaimanakah dampak dari Dwifungsi ABRI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto terhadap sistem sosial politik Indonesia pada masa itu?
1.3 Landasan Konseptual
Pembahasan dalam paper ini merupakan pembahasan yang berkaitan dengan rezim militer di masa Orde Baru dibawah pemerintahan Soeharto yang memiliki basis sebagai Jenderal Angkatan Darat sebelum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Maka, berkaitan dengan hal tersebut landasan konseptual yang kami gunakan adalah :
a.Patrimonialisme
Permasalahan stabilitas merupakan karakteristik mendasar negara-negara dunia ketiga. Berbagai macam kegaduhan dalam system politik seperti demonstrasi hingga kudeta tak henti-hentinya membayangi negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang cukup drastis dalam waktu yang relative singkat di pemerintahan negara-negara itu.Namun demikian, hal ini tidak berlaku bagi negara yang mampu menyelaraskan modernisasi dengan tradisi yang telah terbina di suatu negara.
Di Indonesia sendiri, kita bisa melihat fenomena penyelarasan modernisasi dengan tradisi yang dilakukan oleh penguasa. Presiden Soeharto sebagai pemimpin orde baru menerapkan patrimonialisme yang telah mengakar dalam budaya Jawa untuk menjalankan pemerintahannya. Di negara patrimonial, kekuasaan penguasa tergantung pada kapasitas penguasa untuk memenangkan dan mempertahankan kesetiaan elit politik kunci. Di samping itu, patrimonialisme juga dapat dimaknai sebagai suatu pendekatan yang dilakukan untuk menciptakan sebuah situasi dimana sang pemimpin dapat mengendalikan orang lain dengan menggunakan cara-cara seperti adu domba guna menjunjung tinggi sang penguasa.
Dengan menggunakan pendekatan ini, Soeharto dapat mengendalikan sistem politik Indonesia yang bersifat hierarkis dengan lebih mudah. Gaya kepemimpinan Soeharto pada tahun-tahun awal Orde Baru dengan pasti meningkatkan kepercayaan bahwa ia mengikuti dasar pendekatan patrimonial. Dalam hal ini, Soeharto mencoba untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dengan bawahannya dengan memuaskan keinginan mereka yang biasanya dalam bentuk materi untuk ditukar dengan loyalitas.
Dengan adanya dwifungsi ABRI, tentu saja pendekatan ini semakin mudah dilakukan oleh Soeharto mengingat karakteristik militer yang tunduk pada atasan. Di samping itu, Soeharto ingin memberikan imbal balik bagi kaum militer yang telah berhasil untuk menumpas PKI, nasionalis sayap kiri, dan Soekarnois dengan member mereka posisi yang strategis dalam kalangan elit. Oleh karena itu, Soeharto lebih dipandang sebagai pemimpin yang legal dan rasional yang mengarah kepada neopatrimonialisme, karena caranya untuk melakukan pendekatan ini adalah membangun sistem pemerintahan yang padu.
b.Nepotisme
Nepotisme merupakan salah satu istilah yang sering berada diantara dua kata lainnya yaitu korupsi dan kolusi sehingga kerap disebut KKN. Istilah ini lebih banyak muncul setelah reformasi terjadi di Indonesia mengingat saat itulah hak kebebasan berpendapat bisa diperoleh masyarakat Indonesia, terutama pers yang kritis. Sejak itu, pemerintah banyak dituding melakukan tindak KKN yang tentunya merugikan rakyat Indonesia.
Nepotisme sendiri dapat dimaknai sebagi suatu tindakan pelanggaran hukum karena telah memanfaatkan kedudukan yang dimiliki untuk menarik masuk pihak lain yang memiliki hubungan darah atau ikatan kekerabatan lainnya ke sebuah jabatan. Di masa Orde Baru, Soeharto dituding melakukan tindakan KKN, terutama nepotisme karena kabinet maupun pemerintahannya kebanyakan berasal dari keluarga besarnya maupun orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengannya.
c.Sistem Politik
Konsep sistem politik mulai muncul di tahun 1950-an sebagai bentuk penelitian dari tingkah laku politik. Konsep sistem yang ada di bidang politik sendiri merupakan konsep yang dipinjam dari konsep sistem yang ada di ilmu biologi. Dianggap bahwa sistem politik terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling bergantung pada yang lain dan saling mengadakan interaksi . Perbedaannya, konsep ini digunakan dalam konteks negara, bangsa, kota, atau konteks lainnya.
Dalam penerapannya yang berkaitan dengan konteks negara, konsep sistem politik mendasarkan studi tentang gejala politik dalam tingkah laku masyarakat. Sistem politik ini bersifat terbuka yang berarti masih bisa dipengaruhi dari sistem-sistem yang lain, biasanya juga dipengaruhi sejarah perkembangan, kesukuan, status sosial, atau konsep tentang kekuasaan. Dalam sistem politik juag terdapat empat variable antara lain kekuasaan, kepentingan, kebijaksanaan, dan budaya politik.
d.Dwifungsi ABRI
ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang terdiri dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Polisi Republik Indonesia) memang dikenal dengan kemampuan manajemen yang sangat baik dan diakui masyarakat Indonesia karena sistem hierarkinya yang sangat kental. Sapta Marga yang merupakan pedoman tatanan hidup yang dipegang oleh TNI pun dengan jelas menyatakan pada pasal kelima bahwa mereka memegang teguh kepatuhan dan ketaatan kepada pimpinan mereka.
Bahkan ABRI yang muncul sejak masa revolusi, sejak awal memang sudah menjalankan fungsi sosial maupun politiknya, disini fungsi yang dijalankan dapat diterima masyarakat. Dwifungsi ABRI dapat diartikan sebagai pengesahan pelaksanaan fungsi sosial politik oleh anggota ABRI. Namun untuk mewujudkan landasan hukum yang tepat dan mantap harus melalui tahapan yang tidak sebentar.
Sejak diberlakukannya UU No.80 tahun 1958, fungsi sosial politik ABRI memperoleh pengakuan yuridis. Sedangkan landasan konstitusionalnya berasal dari UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) yang memposisikan ABRI sebagai golongan fungsional. Bahkan di awal Orde Baru, landasan yang dimiliki ABRI bertambah dengan dikeluarkannya TAP MPR yang menjamin kelangsungan kekaryaan anggota ABRI.
e.Profesionalisme Baru
Profesionalisme baru merupakan sebuah aliran yang menjadi cabang dari profesionalisme militer. Konsep profesionalisme baru pada dasarnya menganggap negara-negara berada dalam keadaan perang semesta. Perang semesta sendiri dipahami sebagai keadaan dimana negara tidak hanya menghadapi ancaman yang datang dari luar, namun juga dari dalam. Permasalahan sosial dan politik adalah contoh ancaman dari dalam negeri. Untuk memenangkan perang tersebut, diperlukan sebuah strategi dimana seluruh potensi yang ada dalam sebuah negara bisa dimaksimalkan. Kunci dari strategi itu adalah bersatu-padunya dan interaksi yang dinamis antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, atau tidak terpisahnya dimensi hankam dan dimensi non-hankam dalam pengelolaan negara. Berdasar pada kunci dari strategi tersebut, militer (ABRI) menjadi kelompok yang diyakini mampu mengemban tugas untuk memberikan kemenangan dalam perang semesta karena kecakapannya baik dalam bidang hankam maupun non-hankam.
1.4 Hipotesis
Dalam menjawab rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, kelompok kami memiliki dua hipotesis, antara lain ;
1.Konsepsi Dwifungsi ABRI sangat kental pada era Soeharto karena pada dasarnya scope kewenangan ABRI yang bisa masuk dalam sektor militer-hankam dan sosial-politik dimaksudkan untuk memperkuat posisi pemerintahan Orde Baru itu sendiri.
2.Implementasi Dwifungsi ABRI pada era Soeharto ini memberikan banyak dampak bagi negara baik dampak positif maupun negatif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dwifungsi ABRI
Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan social dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya memang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut ditunjukkan oleh pelbagai peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting, Mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam menghadapi situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang politik. Sebagai contoh ialah Instruksi Bekerja Pemerintah Militer seluruh Jawa No. I/MBKD/1948 dari Kolonel Nasution.
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan social, ABRI adalah suatu unsure dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
Lebih lanjut mengenai ABRI sebagai kekuatan social, setidaknya ada dua fungsi yang dimiliki oleh ABRI. Fungsi tersebut ialah fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. Identitas ABRI sebagai pejuang dan kemanunggalannya dengan rakyat secara otomatis mendorong serta menjadikan ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Sejarah mencatat bahwa ABRI telah membuktikan kedua fungsinya dalam tindakan-tindakan berikut ini.
a.ABRI sebagai dinamisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat , dan untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam pembangunan.
2.Kemampuan tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di lain pihak hal itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
3.Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan dan untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan disiplin nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber pada Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin nasional tersebut.
4.Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha modernisasi.
b.ABRI sebagai stabilisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan social.
2.Kesadaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
3.Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
4.Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan social yang sangat cepat.
Satu aspek yang sangat esensial dalam memahami dwifungsi ABRI adalah pemahaman kita mengenai profesionalisme militer (ABRI). Dalam hal ini, terdapat dua aliran profesionalisme militer, yaitu profesionalisme lama dan profesionalisme baru. Profesionalisme lama sendiri berpijak pada keyakinan bahwa militer hanyalah berperan dalam urusan hankam. Di sisi lain, profesionalisme baru menawarkan sebuah pemahaman baru dimana militer tidak hanya berperan dalam bidang hankam, namun juga non-hankam.
Konsep profesionalisme baru pada dasarnya menganggap negara-negara berada dalam keadaan perang semesta. Perang semesta sendiri dipahami sebagai keadaan dimana negara tidak hanya menghadapi ancaman yang datang dari luar, namun juga dari dalam. Permasalahan social dan politik adalah contoh ancaman dari dalam negeri. Untuk memenangkan perang tersebut, diperlukan sebuah strategi dimana seluruh potensi yang ada dalam sebuah negara bisa dimaksimalkan. Kunci dari strategi itu adalah bersatu-padunya dan interaksi yang dinamis antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, atau tidak terpisahnya dimensi hankam dan dimensi non-hankam dalam pengelolaan negara. Berdasar pada kunci dari strategi tersebut, militer (ABRI) menjadi kelompok yang diyakini mampu mengemban tugas untuk memberikan kemenangan dalam perang semesta karena kecakapannya baik dalam bidang hankam maupun non-hankam. Ketika kita melihat strategi dari ABRI sendiri, kita akan menemui bahwa mereka menganut konsep pertahanan semesta. Di samping itu, kita bisa melihat bahwa hal ini sangat sesuai dengan konsep Dwifungsi ABRI.
Dalam pelaksanaannya, Dwifungsi ABRI didasarkan pada beberapa undang-undang yang menjadi landasan legal formal berlakunya konsep tersebut. Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai pada era Orde Baru, walaupun sebelumnya beberapa peraturan perundangan telah menyinggung kedudukan ABRI sebagai golongan fungsional seperti umpamanya UU No. 7 Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, UU No. 80 Tahun 1958 tentang Dewan Perancang Nasional, dan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Pada era orde baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
Adapun penjelasan lebih lanjut tentang beberapa pasal tersebut adalah sebagai berikut :
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang antara lain mengatakan :
“Mengingat Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan social harus kompak bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUG 1945 yang kuat dan sentosa.”
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengukuhkan Dwifungsi ABRI sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dengan kalimat :
“Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara.”
UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, pasal 16 berbunyi :
“Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan kemanan negara dan sebagai kekuatan social.”
Dalam Penjelasan Pasal ini dirumuskan :
“Fungsi Angkatan bersenjata sebagai kekuatan social sudah ada sejak kelahirannya serta merupakan bagian dari hasil proses perjuangan dan pertumbuhan bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam marga kesatu sampai marga ketiga Saptamarga dan dinyatakan sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978).
Selanjutnya dalam pasal 28 dikatakan :
“(1) Angkatan bersenjata sebagai kekuatan social bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan social lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai maslaah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam sefala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.”
Penjelasan Pasal ini berbunyi :
“Sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia terbukti angkatan bersenjata merupakan pengawal dan pengamal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang setia, sehingga dalam peranannya sebagai kekuatan social, angkatan bersenjata mendayagunakan kempuannya selaku dinamisator dan stabilisator dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional. Dalam rangka pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud di atas, angkatan bersenjata diarahkan agar mampu secara aktif dan positif ikut serta memupuk serta memantapkan perseatuan dan kesatuan bangsa dan mampu berpersan dalam pembangunan nasional ke arah terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh.”
Terakhir, UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI menegaskan dalam Pasal 6-nya :
“Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan social politik.”
2.2 Pelaksanaan Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968. Hal ini dipandang wajar karena pada saat itu sektor militer memiliki kekuatan yang paling besar. Sebenarnya, sejak awal milliter ikut ambil peran dalam mengurusi urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana kekuatan militer Indonesia dianggap akan memgang peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Indikasi ini muncul sesuai dengan teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya, struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak heran jika partisipasi politik dari kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa itu mengingat masih rendahnya level sistem budaya politik pada masa itu serta tidak mampunya membatasi kegiatan militer pada bidang non-politis saja.
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang d di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa).
Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Lebih jauh, Harold Crouch dalam bukunya “Militer dan Politik di Indonesia” menerangkan bahwa pandangan pihak militer terpecah menjadi dua kelompok, namun keduanya tetap menganut sifat antipartai. Hal ini juga disampaikan oleh A.H. Nasution. Kelompok pertama adalah kelompok berhalauan keras yang ingin mengubah struktur politik dengan sistem dwipartai. Berbeda dengan kelompok tersebut, kelompok kedua adalah kelompok moderat yang cenderung tetap ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan perubahan dilaksanakan secara bertahap dan alami.
Contoh kasus yang nyata dari kelompok militan adalah pada tahun 1967, Panglima Divisi Siliwangi HR Dharsono, didukung oleh Panglima Kostrad Kemal Idris, menyiarkan suatu rencana menjalankan sistem dwipartai di Jawa Barat. Mereka mengusulkan pembubaran partai-partai yang ada. Namun usulan-usulan pembubaran partai ini ditolak oleh kelompok moderat yang berada di sekililing Soeharto pada tahun 1967 dan 1968.
Perbedaan pandangan ini kemudian dimenangkan oleh kelompok moderat. Alasannya adalah bahwa pembubaran partai dapat menciptakan pandangan bahwa Orda Baru bersifat diktatorisme. Soeharto lebih percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui jalan demokrasi, yaitu melalui pemilu. Pandangan demikian kemudian menimbulkan korelasi antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde Baru.
Pertama yaitu Golkar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Namun setelah kudeta PKI tahun 1965, Sekber Golkar perlahan-lahan berubah menjadi partai politik. Selain itu, seperti kita tahu bersama juga, Presiden Soeharto kemudian menjatuhkan pilihannya pada Golkar. Jadi, peran ABRI bagi Golkar cukup prominen.
Kedua yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Sejalan dengan maksud pemerintahan untuk melakukan penyederhanaan partai-partai politik, maka dilaksanakan fusi-fusi partai politik. Hal ini juga dipicu oleh pendapat Letjen Ali Moertopo pada bulan Mei 1971. Beliau berpendapat bahwa strukturisasi tidak harus dilakukan melalui pembubaran partai politik. Ternyata dorongan fusi ini justru disambut baik oleh golongan Islam. Oleh karena itu, lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973 yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
Ketiga yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI juga merupakan partai yang terbentuk pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang terbentuk ini kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersift simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.
Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor Legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.
2.3 Dampak dari Implementasi Dwifungsi ABRI
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi system politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat.
Diantara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
Hal ini pada dasarnya bisa kita pahami sebagai sebuah pelaksanaan pendekatan patrimonialisme yang dilakukan oleh Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya. Sebagaimana kita ketahui, pada awal pemerintahannya Soeharto mengalami masa yang cukup sulit. Pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1965 waktu itu menimbulkan goncangan yang cukup hebat bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan politik di Indonesia mengalami instabilitas yang sangat hebat. Belum lagi inflasi yang cukup tinggi hingga ratusan persen membuat perekonomian Indonesia terpuruk sangat dalam. Dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI, ABRI yang dipimpin oleh Soeharto waktu itu tampil sebagai pihak yang mampu menumpas kebiadaban PKI. Tentu saja ini adalah sebuah prestasi yang layak untuk diganjar dengan penghargaan di mana Soeharto menempatkan banyak Jendral dalam berbagai posisi pemerintahan. Lebih dari itu, dengan menempatkan jendral-jendral dalam posisi strategis di pemerintahan, Soeharto sedang berupaya untuk membentuk pola hubungan yang saling menguntungkan di mana dia ingin menciptakan loyalitas di kalangan elit dalam hal ini ABRI pada dirinya karena dengan posisi strategis tersebut, aspirasi para jendral khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan lebih mudah. Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto menjadi lebih stabil. Program-program yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga berhasil dilakukan dengan efektif.
Dominasi dwifungsi ABRI dalam hal tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang lebih buruk. Dampak tersebut antara lain adalah: (a). Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut, (b). Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan (c). Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.
Lebih dari itu, dengan adanya Dwifungsi ABRI, prakter-praktek nepotisme makin tumbuh subur di Indonesia. Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI memanfaatkan posisi yang dimiliki untuk kepentingannya masing-masing. Dengan pengaruh yang dimilikinya mengingat jabatannya baik di bidang militer maupun politik, anggota ABRI ini berusaha untuk meperluas usaha istrinya, saudaranya, bahkan sepupunya.
Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
Lebih dari itu, dampak positif dari adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan adanya dwifungsi ABRI, banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para Jendral ABRI memiliki kesejahteraan yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posis-posisi strategis itu.
Di sisi lain, banyaknya anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan berimplikasi pada banyaknya dari masyarakat yang ingin menjadi anggota ABRI. Hal ini merupakan sesuatu yang positif karena dengan banyaknya orang yang ingin menjadi anggota ABRI maka seleksi bagi orang-orang yang ingin tergabung dalam militer Indonesia lebih kompetitif.
Pada akhirnya, keberhasilan Presiden Soeharto untuk menjalankan berbagai macam program pembangunannya menjadi dampak positif diberlakukannya konsep Dwifungsi ABRI di era orde baru. Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri kegiatan politik masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada di bawah kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi pendorong bagi keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini bisa kita lihat dengan kiprah Fraksi ABRI di DPR-RI yang dengan tegas memposisikan dirinya sebagai partai pendukung pemerintah. Jika ditambah dengan suara Golkar, tentu saja setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI dapat berjalan dengan mulus tidak seperti apa yang kita lihat pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
BAB III
KESIMPULAN
Kontribusi tentara bagi bangsa dan negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan Indonesia tidak dapat terhitung besarnya, mengingat tentara ini merupakan salah satu ujung tombak dari kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada masa penjajahan dahulu. Seiring berjalannya waktu, didukung oleh pergantian pemerintahan Soekarno menjadi Soeharto dengan ditandai oleh sistem pemerintahan Orde Baru di Indonesia, peran tentara Indonesia yang kemudian disebut dengan ABRI semakin besar. Dahulu, ABRI yang hanya bergerak dibidang keamanan dan pertahanan di Indonesia, namun pada era pemerintahan Soeharto, peranan ABRI merangkap kearah bidang sosial dan politik. Fungsi ganda ABRI ini kerap dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan status Soeharto sebagai seorang pemimpin yang berasal dari golongan tentara memicu banyaknya ABRI yang mulai terjun dalam bidang politik pemerintahan Indonesia. Hal ini juga didukung oleh beberapa statement bahwa element yang dapat mengatasi ancaman pertahanan dan pembangunan nasional adalah dengan menyelaraskan peranan ABRI yang tidak lagi hanya bergerak dibidang hankam tetapi bidang non-hankam. Akibatnya, tak terhitung banyaknya anggota ABRI yang menjadi anggota DPR, DPRD, atau posisi lainnya dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Banyaknya anggota ABRI yang duduk di kursi pemerintahan menuai banyak implikasi positif maupun negatif. Implikasi positif ini cenderung banyak dirasakan oleh para anggota ABRI yang mendominasi kursi pemerintahan di Indonesia pada era Soeharto. Disisi lain, dampak negatif cenderung banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia dimana mereka merasakan sistem pemerintahan Indonesia saat itu berada dalam dominasi ABRI yang memicu banyaknya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini, jelaslah membawa dampak yang merugikan untuk bangsa Indonesia sebagai komponen yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Basari, Hasan., Seperti yang dikutip dari Huntington, Political Order… ,dalam Ulf Sandhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwifungsi ABRI, trans, LP3ES, Jakarta, 1998.
Budiarjo, Miriam., Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Jenkins, David., Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim militer Indonesia 1975-1983., Komunitas Bambu, Jakarta, 2010.
Muhaimin, Yahya., Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1982.
Notosusanto, N., Pejuang dan Prajurit ,Sinar Harapan, Jakarta, 1984.
Samego, Indria, Bila ABRI Menghendaki : Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI, Penerbit Mizan, Bandung, 1998.
Soebijono, Dwifungsi ABRI : Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
Sumarsono, Tatang., A.H. Nasution di Masa Orde Baru: Lewat Kesaksian Tokoh Eksponen 66, Bakri Tianlean, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
Tambunan, A.S.S., Dwifungsi ABRI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta , 1993.
Yulianto, Arif., Hubungan Sipil dan Militer di Indonesia Pasca ORBA; Di Tengah Pusaran Demokrasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

No comments:

Post a Comment