Saturday, April 4, 2015

“Ketika Si Miskin Tidak Boleh Sakit”




 Si  miskin tidak boleh sakit kalimat ini memang ada benarnya. Bagaimana tidak ketika masyarakat di negeri ini sibuk dengan hiruk pikuk politik, dan para pejabatnya hanya malah keasikan  bersandiwara untuk mengangkat popularitas dan mempertahankan jabatannya, ternyata ada sebuah kisah yang  memilukan dinegeri. Bagaimana tidak kisah terlantarnya pasien miskin hingga tewas kembali terjadi, memang kejadiaan ini adalah hal yang sangat lumrah di negeri ini, dan terus berulang tanpa di tau bagaimana solusi untuk mengatasinya. Padahal anggaran untuk kesehatan sangatlah besar di negeri ini. Banyak  para pejabat yang menjanjikan pelayanan kesehatan secara gratis, namun sayang kalimat ini hanya terlontar pada saat menjelang pemilu saja, dan sesudah pemilu ini bagaikan angin yang berlalu tanpa ada arah yang jelas akan janji manis tersebut.
                Kisah ini adalah sebuah kisah nyata tentang ketidak adilan terhadap si miskin. Kita mulai saja ceritanya. Kisah ini terjadi di DKI JAKARTA kurang lebih beberapa tahun silam. Ada   seorang anak bernama Ana, sepulang sekolah ia merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutnya,  orang tuanya mengira anak mereka hanya mengalami sakit perut biasa, sehingga kedua orang tuanya hanya membirkannya. Namun keesokan harinya penyakit yang di derita Ana tidak kunjung membaik  sehingga orang tuanya langsung membawa anaknya kerumah sakit. Dengan bermodal kartu Jakarta Sehat (KJS) yang di miliki orang tua Ana, mereka langsung membawa anaknya ke salah satu rumah sakit di wilayah DKI JAKRTA. Sesampainya di rumah sakit yang pertama mereka harus kecewa karena rumah sakit tersebut menolak mereka dengan alasan rumah sakit dalam keadaan penuh. Kedua orang tua Ana tidak patah semangat dan  kembali membawa Ana kerumah sakit selanjutnya. Dan beruntung akhirnya ada salah satu rumah sakit kecil yang bersedia menerima Ana, tetapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa hari kemudian penyakit yang diderita Ana tidak kunjung sembuh malah semakin parah. Perut  Ana terus membengkak, dan  Pihak rumah sakit menganjurkan kepada orang tua Ana untuk merujuknya kerumah sakit yang lebih besar. Alasan rumah sakit ini untuk merujuk Ana karena mereka mempunyai keterbatsan peralatan medis untuk mngobati Ana , apa lagi Ana harus segera di operasi. Demi kesembuhan anaknya kedua orang tua Ana  membawa Ana ke  3 rumah sakit besar namun sayang, tidak ada satupun rumah sakit yang menerimanya dengan alasan yang sama yaitu tidak mempunyai kamar kosong untuk menampung Ana. Setelah lelah mencari ruamah sakit akhirnya Orang tua Ana  melaporkan kejadiaan yang di derita anaknya tersebut ke anggota DPRD, sesudah melapor kejadian tersebut keanggota dewan akhirnya ada salah satu rumah sakit besar yang bersedia merawat Ana. Namun akibat penyakit yang di deritannya sangat parah, akhirnya ana menghembuskan nafas terakhirnya pada pagi tanggal 9 maret. Andaikan saja Ana cepat di tangani oleh rumah sakit besar pasti kejadiaannya tidak begini. Namun tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik. Semoga tidak ada kejadian  seperti Ana-Ana  yang lain, yang meregang nyawa karena tidak ada rumah sakit yang mau menerimanya dengan berbagai alasan. Ana tidak sempat berlama-lama menghirup udara di dunia bukan lantaran orang tuanya tak sayang. Tetapi dia harus kembali ke pangkuan sang khalik karena mereka miskin, teraniyaya, dan tak berdaya. Pertanyaanya mengapa nanti kalo ada pejabat yang turun tangan baru semua memperhatikan? Apa bedanya masyarakat biasa dengan pejabat! Bukannya para anggota dewan itu adalah utusan rakyat, yang berarti mereka adalah pesuruh rakyat. Tapi begitulah di negeri ini siapa yang mempunyai uang dan jabatan ia pasti akan mendapat kehormatan, sedangkan “ Si Miskin” hanya bak orang  hina yang tak berdaya meratapi keadaan.

                Sekian kisah ketidak adilan tentang  fasilitas pelayanan publik di negeri ini. Semoga kisah ini tidak terulang kembali, betapa indahnya mimpi kita semua jika negeri ini dapat memberiakan kenyamanan pada warganya berupa kesehatan gratis, pendidikan murah, sampai taraf hidup yang layak. Tentu saja, ini tdak hanya untuk segelintir masyarakat, tetapi berlaku untuk semua warga negara, yang katanya negerinya subur dan makmur ini. Semuanya bukan mustahil  untuk terwujud. Masalahnya, adakah niat untuk mewujudkan itu semua? Hanya waktu yang bisa menjawab hal tersebut.