Written by :
Ajeng Dwiyani Khoirunnisa
Detin Novitasari
Dyah Intan
M. Irfan Ardhani
Meilinda Sari Yayusman
Reynaldo Apriyandi Litobing
Rizca Hikmah Hijria
Yoga Tri Waskito
Detin Novitasari
Dyah Intan
M. Irfan Ardhani
Meilinda Sari Yayusman
Reynaldo Apriyandi Litobing
Rizca Hikmah Hijria
Yoga Tri Waskito
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran tentara memang tidak bisa
terlepas dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia karena pada faktanya
mereka-lah yang merupakan ujung tombak kedaulatan dan memperjuangkan kebebasan
dari penindasan penjajah di masa lampau. Transformasi lembaga militer di
Indonesia pada era pasca kemerdekaan sangat dinamis, contohnya saja kehadiran
TKR yang selanjutnya berubah menjadi TRI, AURI, ALRI, dll. Sejak awal
berdirinya Republik Indonesia sendiri sebenarnya para perwira militer sudah
mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner . Pada
bulan Juli 1958, militer diakui sebagai kekuatan politik dan tidak sedikit dari
mereka yang mampu menempati singgasana-singgasana birokrat dan terjun dalam politik
kenegaraan.
Dengan meletusnya kudeta Gerakan 30
September PKI, peran serta militer dalam dunia politik semakin mantap. Hal ini
berkaitan dengan fakta bahwa ABRI sendiri sebenarnya sejak awal sangat menentang kehadiran PKI yang mereka nilai sebagai ancaman yang sangat potensial terhadap kelangsungan bangsa terkait dengan sifatnya yang Atheis, Non-Nasionalis, Komintern, dan menganut doktrin perjuangan kelas yang saelalu mengadu domba/memecah belah, hal ini tentunya melanggar prinsip persatuan yang diusung oleh Pancasila . Kudeta tersebut merupakan pukulan keras bagi Presiden Soekarno yang mana pada masa sebelumnya telah menunjukkan sikap dukungan dan terkesan melindungi eksistensi PKI sendiri. Kemudian, hal tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya “Supersemar” yang menandakan turunnya Soekarno dari jabatan kepresidenan dan digantikan oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto yang notabene memiliki latar belakang militer yang kental, maka tidak heran apabila sepak terjang ABRI dalam sektor politik semakin pesat di era-era berikutnya.
berkaitan dengan fakta bahwa ABRI sendiri sebenarnya sejak awal sangat menentang kehadiran PKI yang mereka nilai sebagai ancaman yang sangat potensial terhadap kelangsungan bangsa terkait dengan sifatnya yang Atheis, Non-Nasionalis, Komintern, dan menganut doktrin perjuangan kelas yang saelalu mengadu domba/memecah belah, hal ini tentunya melanggar prinsip persatuan yang diusung oleh Pancasila . Kudeta tersebut merupakan pukulan keras bagi Presiden Soekarno yang mana pada masa sebelumnya telah menunjukkan sikap dukungan dan terkesan melindungi eksistensi PKI sendiri. Kemudian, hal tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya “Supersemar” yang menandakan turunnya Soekarno dari jabatan kepresidenan dan digantikan oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto yang notabene memiliki latar belakang militer yang kental, maka tidak heran apabila sepak terjang ABRI dalam sektor politik semakin pesat di era-era berikutnya.
Dari asumsi di atas, ABRI sebenarnya
memiliki dua peranan yang cukup signifikan dan seringkali dikenal dengan
“dwifungsi ABRI”, yakni selain sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, ABRI
juga merupakan kekuatan sosial-politik . Istilah dwifungsi yang menjadi dasar
legitimasi bagi peran sosial-politik angkatan bersenjata sendiri mulai
berkembang dan populer pada masa Orde Baru. Ini diawali dari konsepsi Nasution
tentang “Jalan Tengah” ABRI pada 1958, yang intinya tentang pemberian
kesempatan kepada ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik bagsa untuk
berperan serta di dalam pemerintahan atas dasar “Asas Negara Kekeluargaan” .
Ditambah lagi dengan fakta pada Agustus tahun 1966, ABRI menyatakan
kepeduliannya untuk ikut mengatasi tiga masalah nasional, yakni stabilitas
sosial politik, stabilitas sosial ekonomi, dan kedudukan serta peran ABRI dalam
revolusi Indonesia sebagai kekuatan revolusi, alat penegak demokrasi dan
sebagai alat pertahanan dan keamanan negara . Dengan kata lain, ABRI ingin
mengutarakan etikatnya untuk tidak sekedar berperan dalam dunia militer-hankam
saja, namun meluas pada bidang sosial-politik karena keduanya saling
berkesinambungan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa konsepsi Dwifungsi ABRI sangat kental pada era Soeharto?
2. Bagaimanakah dampak dari Dwifungsi ABRI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto terhadap sistem sosial politik Indonesia pada masa itu?
1. Mengapa konsepsi Dwifungsi ABRI sangat kental pada era Soeharto?
2. Bagaimanakah dampak dari Dwifungsi ABRI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto terhadap sistem sosial politik Indonesia pada masa itu?
1.3 Landasan Konseptual
Pembahasan dalam paper ini merupakan
pembahasan yang berkaitan dengan rezim militer di masa Orde Baru dibawah
pemerintahan Soeharto yang memiliki basis sebagai Jenderal Angkatan Darat
sebelum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Maka, berkaitan dengan
hal tersebut landasan konseptual yang kami gunakan adalah :
a.Patrimonialisme
Permasalahan stabilitas merupakan
karakteristik mendasar negara-negara dunia ketiga. Berbagai macam kegaduhan
dalam system politik seperti demonstrasi hingga kudeta tak henti-hentinya
membayangi negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang cukup
drastis dalam waktu yang relative singkat di pemerintahan negara-negara
itu.Namun demikian, hal ini tidak berlaku bagi negara yang mampu menyelaraskan
modernisasi dengan tradisi yang telah terbina di suatu negara.
Di Indonesia sendiri, kita bisa
melihat fenomena penyelarasan modernisasi dengan tradisi yang dilakukan oleh
penguasa. Presiden Soeharto sebagai pemimpin orde baru menerapkan
patrimonialisme yang telah mengakar dalam budaya Jawa untuk menjalankan
pemerintahannya. Di negara patrimonial, kekuasaan penguasa tergantung pada
kapasitas penguasa untuk memenangkan dan mempertahankan kesetiaan elit politik
kunci. Di samping itu, patrimonialisme juga dapat dimaknai sebagai suatu
pendekatan yang dilakukan untuk menciptakan sebuah situasi dimana sang pemimpin
dapat mengendalikan orang lain dengan menggunakan cara-cara seperti adu domba
guna menjunjung tinggi sang penguasa.
Dengan menggunakan pendekatan ini,
Soeharto dapat mengendalikan sistem politik Indonesia yang bersifat hierarkis
dengan lebih mudah. Gaya kepemimpinan Soeharto pada tahun-tahun awal Orde Baru
dengan pasti meningkatkan kepercayaan bahwa ia mengikuti dasar pendekatan
patrimonial. Dalam hal ini, Soeharto mencoba untuk menciptakan hubungan yang
saling menguntungkan dengan bawahannya dengan memuaskan keinginan mereka yang
biasanya dalam bentuk materi untuk ditukar dengan loyalitas.
Dengan adanya dwifungsi ABRI, tentu
saja pendekatan ini semakin mudah dilakukan oleh Soeharto mengingat
karakteristik militer yang tunduk pada atasan. Di samping itu, Soeharto ingin
memberikan imbal balik bagi kaum militer yang telah berhasil untuk menumpas
PKI, nasionalis sayap kiri, dan Soekarnois dengan member mereka posisi yang
strategis dalam kalangan elit. Oleh karena itu, Soeharto lebih dipandang sebagai
pemimpin yang legal dan rasional yang mengarah kepada neopatrimonialisme,
karena caranya untuk melakukan pendekatan ini adalah membangun sistem
pemerintahan yang padu.
b.Nepotisme
Nepotisme merupakan salah satu
istilah yang sering berada diantara dua kata lainnya yaitu korupsi dan kolusi
sehingga kerap disebut KKN. Istilah ini lebih banyak muncul setelah reformasi
terjadi di Indonesia mengingat saat itulah hak kebebasan berpendapat bisa
diperoleh masyarakat Indonesia, terutama pers yang kritis. Sejak itu,
pemerintah banyak dituding melakukan tindak KKN yang tentunya merugikan rakyat
Indonesia.
Nepotisme sendiri dapat dimaknai sebagi suatu tindakan pelanggaran hukum karena telah memanfaatkan kedudukan yang dimiliki untuk menarik masuk pihak lain yang memiliki hubungan darah atau ikatan kekerabatan lainnya ke sebuah jabatan. Di masa Orde Baru, Soeharto dituding melakukan tindakan KKN, terutama nepotisme karena kabinet maupun pemerintahannya kebanyakan berasal dari keluarga besarnya maupun orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengannya.
Nepotisme sendiri dapat dimaknai sebagi suatu tindakan pelanggaran hukum karena telah memanfaatkan kedudukan yang dimiliki untuk menarik masuk pihak lain yang memiliki hubungan darah atau ikatan kekerabatan lainnya ke sebuah jabatan. Di masa Orde Baru, Soeharto dituding melakukan tindakan KKN, terutama nepotisme karena kabinet maupun pemerintahannya kebanyakan berasal dari keluarga besarnya maupun orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengannya.
c.Sistem Politik
Konsep sistem politik mulai muncul
di tahun 1950-an sebagai bentuk penelitian dari tingkah laku politik. Konsep
sistem yang ada di bidang politik sendiri merupakan konsep yang dipinjam dari
konsep sistem yang ada di ilmu biologi. Dianggap bahwa sistem politik terdiri
dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling bergantung pada yang lain
dan saling mengadakan interaksi . Perbedaannya, konsep ini digunakan dalam
konteks negara, bangsa, kota, atau konteks lainnya.
Dalam penerapannya yang berkaitan
dengan konteks negara, konsep sistem politik mendasarkan studi tentang gejala
politik dalam tingkah laku masyarakat. Sistem politik ini bersifat terbuka yang
berarti masih bisa dipengaruhi dari sistem-sistem yang lain, biasanya juga
dipengaruhi sejarah perkembangan, kesukuan, status sosial, atau konsep tentang
kekuasaan. Dalam sistem politik juag terdapat empat variable antara lain
kekuasaan, kepentingan, kebijaksanaan, dan budaya politik.
d.Dwifungsi ABRI
ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia) yang terdiri dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Polisi
Republik Indonesia) memang dikenal dengan kemampuan manajemen yang sangat baik
dan diakui masyarakat Indonesia karena sistem hierarkinya yang sangat kental.
Sapta Marga yang merupakan pedoman tatanan hidup yang dipegang oleh TNI pun
dengan jelas menyatakan pada pasal kelima bahwa mereka memegang teguh kepatuhan
dan ketaatan kepada pimpinan mereka.
Bahkan ABRI yang muncul sejak masa revolusi, sejak awal memang sudah menjalankan fungsi sosial maupun politiknya, disini fungsi yang dijalankan dapat diterima masyarakat. Dwifungsi ABRI dapat diartikan sebagai pengesahan pelaksanaan fungsi sosial politik oleh anggota ABRI. Namun untuk mewujudkan landasan hukum yang tepat dan mantap harus melalui tahapan yang tidak sebentar.
Bahkan ABRI yang muncul sejak masa revolusi, sejak awal memang sudah menjalankan fungsi sosial maupun politiknya, disini fungsi yang dijalankan dapat diterima masyarakat. Dwifungsi ABRI dapat diartikan sebagai pengesahan pelaksanaan fungsi sosial politik oleh anggota ABRI. Namun untuk mewujudkan landasan hukum yang tepat dan mantap harus melalui tahapan yang tidak sebentar.
Sejak diberlakukannya UU No.80 tahun
1958, fungsi sosial politik ABRI memperoleh pengakuan yuridis. Sedangkan
landasan konstitusionalnya berasal dari UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) yang
memposisikan ABRI sebagai golongan fungsional. Bahkan di awal Orde Baru, landasan
yang dimiliki ABRI bertambah dengan dikeluarkannya TAP MPR yang menjamin
kelangsungan kekaryaan anggota ABRI.
e.Profesionalisme Baru
Profesionalisme baru merupakan
sebuah aliran yang menjadi cabang dari profesionalisme militer. Konsep
profesionalisme baru pada dasarnya menganggap negara-negara berada dalam
keadaan perang semesta. Perang semesta sendiri dipahami sebagai keadaan dimana
negara tidak hanya menghadapi ancaman yang datang dari luar, namun juga dari
dalam. Permasalahan sosial dan politik adalah contoh ancaman dari dalam negeri.
Untuk memenangkan perang tersebut, diperlukan sebuah strategi dimana seluruh
potensi yang ada dalam sebuah negara bisa dimaksimalkan. Kunci dari strategi
itu adalah bersatu-padunya dan interaksi yang dinamis antara keamanan nasional
dengan pembangunan nasional, atau tidak terpisahnya dimensi hankam dan dimensi
non-hankam dalam pengelolaan negara. Berdasar pada kunci dari strategi
tersebut, militer (ABRI) menjadi kelompok yang diyakini mampu mengemban tugas
untuk memberikan kemenangan dalam perang semesta karena kecakapannya baik dalam
bidang hankam maupun non-hankam.
1.4 Hipotesis
Dalam menjawab rumusan masalah yang
telah dipaparkan sebelumnya, kelompok kami memiliki dua hipotesis, antara lain
;
1.Konsepsi Dwifungsi ABRI sangat kental pada era Soeharto karena pada dasarnya scope kewenangan ABRI yang bisa masuk dalam sektor militer-hankam dan sosial-politik dimaksudkan untuk memperkuat posisi pemerintahan Orde Baru itu sendiri.
2.Implementasi Dwifungsi ABRI pada era Soeharto ini memberikan banyak dampak bagi negara baik dampak positif maupun negatif.
1.Konsepsi Dwifungsi ABRI sangat kental pada era Soeharto karena pada dasarnya scope kewenangan ABRI yang bisa masuk dalam sektor militer-hankam dan sosial-politik dimaksudkan untuk memperkuat posisi pemerintahan Orde Baru itu sendiri.
2.Implementasi Dwifungsi ABRI pada era Soeharto ini memberikan banyak dampak bagi negara baik dampak positif maupun negatif.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dwifungsi ABRI
Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan social dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya memang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut ditunjukkan oleh pelbagai peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting, Mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam menghadapi situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang politik. Sebagai contoh ialah Instruksi Bekerja Pemerintah Militer seluruh Jawa No. I/MBKD/1948 dari Kolonel Nasution.
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan social, ABRI adalah suatu unsure dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan social dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya memang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut ditunjukkan oleh pelbagai peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting, Mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam menghadapi situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang politik. Sebagai contoh ialah Instruksi Bekerja Pemerintah Militer seluruh Jawa No. I/MBKD/1948 dari Kolonel Nasution.
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan social, ABRI adalah suatu unsure dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
Lebih lanjut mengenai ABRI sebagai
kekuatan social, setidaknya ada dua fungsi yang dimiliki oleh ABRI. Fungsi
tersebut ialah fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. Identitas ABRI
sebagai pejuang dan kemanunggalannya dengan rakyat secara otomatis mendorong
serta menjadikan ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator dalam kehidupan
bangsa dan negara kita. Sejarah mencatat bahwa ABRI telah membuktikan kedua
fungsinya dalam tindakan-tindakan berikut ini.
a.ABRI sebagai dinamisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat , dan untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam pembangunan.
2.Kemampuan tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di lain pihak hal itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
3.Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan dan untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan disiplin nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber pada Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin nasional tersebut.
4.Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha modernisasi.
a.ABRI sebagai dinamisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat , dan untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam pembangunan.
2.Kemampuan tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di lain pihak hal itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
3.Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan dan untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan disiplin nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber pada Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin nasional tersebut.
4.Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha modernisasi.
b.ABRI sebagai stabilisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan social.
2.Kesadaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
3.Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
4.Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan social yang sangat cepat.
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan social.
2.Kesadaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
3.Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
4.Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan social yang sangat cepat.
Satu aspek yang sangat esensial
dalam memahami dwifungsi ABRI adalah pemahaman kita mengenai profesionalisme
militer (ABRI). Dalam hal ini, terdapat dua aliran profesionalisme militer,
yaitu profesionalisme lama dan profesionalisme baru. Profesionalisme lama
sendiri berpijak pada keyakinan bahwa militer hanyalah berperan dalam urusan
hankam. Di sisi lain, profesionalisme baru menawarkan sebuah pemahaman baru
dimana militer tidak hanya berperan dalam bidang hankam, namun juga non-hankam.
Konsep profesionalisme baru pada
dasarnya menganggap negara-negara berada dalam keadaan perang semesta. Perang
semesta sendiri dipahami sebagai keadaan dimana negara tidak hanya menghadapi
ancaman yang datang dari luar, namun juga dari dalam. Permasalahan social dan
politik adalah contoh ancaman dari dalam negeri. Untuk memenangkan perang
tersebut, diperlukan sebuah strategi dimana seluruh potensi yang ada dalam
sebuah negara bisa dimaksimalkan. Kunci dari strategi itu adalah
bersatu-padunya dan interaksi yang dinamis antara keamanan nasional dengan
pembangunan nasional, atau tidak terpisahnya dimensi hankam dan dimensi
non-hankam dalam pengelolaan negara. Berdasar pada kunci dari strategi
tersebut, militer (ABRI) menjadi kelompok yang diyakini mampu mengemban tugas
untuk memberikan kemenangan dalam perang semesta karena kecakapannya baik dalam
bidang hankam maupun non-hankam. Ketika kita melihat strategi dari ABRI
sendiri, kita akan menemui bahwa mereka menganut konsep pertahanan semesta. Di
samping itu, kita bisa melihat bahwa hal ini sangat sesuai dengan konsep
Dwifungsi ABRI.
Dalam pelaksanaannya, Dwifungsi ABRI
didasarkan pada beberapa undang-undang yang menjadi landasan legal formal
berlakunya konsep tersebut. Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam undang-undang
sendiri baru dimulai pada era Orde Baru, walaupun sebelumnya beberapa peraturan
perundangan telah menyinggung kedudukan ABRI sebagai golongan fungsional
seperti umpamanya UU No. 7 Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, UU No. 80 Tahun
1958 tentang Dewan Perancang Nasional, dan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960.
Pada era orde baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan
MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969
tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978,
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan
Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
Adapun penjelasan lebih lanjut
tentang beberapa pasal tersebut adalah sebagai berikut :
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang antara lain mengatakan :
“Mengingat Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan social harus kompak bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUG 1945 yang kuat dan sentosa.”
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengukuhkan Dwifungsi ABRI sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dengan kalimat :
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang antara lain mengatakan :
“Mengingat Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan social harus kompak bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUG 1945 yang kuat dan sentosa.”
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengukuhkan Dwifungsi ABRI sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dengan kalimat :
“Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh
dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara.”
UU No. 20 tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, pasal 16 berbunyi :
“Angkatan bersenjata mempunyai
fungsi sebagai kekuatan pertahanan kemanan negara dan sebagai kekuatan social.”
Dalam Penjelasan Pasal ini
dirumuskan :
“Fungsi Angkatan bersenjata sebagai
kekuatan social sudah ada sejak kelahirannya serta merupakan bagian dari hasil
proses perjuangan dan pertumbuhan bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam
marga kesatu sampai marga ketiga Saptamarga dan dinyatakan sebagai salah satu
modal dasar pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
(Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978).
Selanjutnya dalam pasal 28 dikatakan
:
“(1) Angkatan bersenjata sebagai
kekuatan social bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama
kekuatan social lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan
mensukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai maslaah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam sefala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.”
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai maslaah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam sefala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.”
Penjelasan Pasal ini berbunyi :
“Sepanjang sejarah perjuangan bangsa
Indonesia terbukti angkatan bersenjata merupakan pengawal dan pengamal
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang setia, sehingga dalam peranannya
sebagai kekuatan social, angkatan bersenjata mendayagunakan kempuannya selaku
dinamisator dan stabilisator dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab
mengamankan dan mensukseskan perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional. Dalam
rangka pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud di atas, angkatan bersenjata
diarahkan agar mampu secara aktif dan positif ikut serta memupuk serta
memantapkan perseatuan dan kesatuan bangsa dan mampu berpersan dalam
pembangunan nasional ke arah terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh.”
Terakhir, UU no. 2 Tahun 1988
tentang Prajurit ABRI menegaskan dalam Pasal 6-nya :
“Prajurit Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan social politik.”
2.2 Pelaksanaan Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi
sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik.
Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan
militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran
ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya
Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968. Hal ini dipandang wajar karena
pada saat itu sektor militer memiliki kekuatan yang paling besar. Sebenarnya,
sejak awal milliter ikut ambil peran dalam mengurusi urusan sipil telah muncul
suatu indikasi dimana kekuatan militer Indonesia dianggap akan memgang peran
penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Indikasi ini muncul sesuai dengan
teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling penting dari
intervensi militer dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya,
struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak heran jika
partisipasi politik dari kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa itu
mengingat masih rendahnya level sistem budaya politik pada masa itu serta tidak
mampunya membatasi kegiatan militer pada bidang non-politis saja.
Secara umum, intervensi ABRI dalam
bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini
salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD
tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari
jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka
bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang d di MPR dan DPR
tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu,
para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar
serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah dari mulai
Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD
(ABRI Masuk Desa).
Keikutsertaan militer dalam bidang
politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan
pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik
dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Lebih jauh,
Harold Crouch dalam bukunya “Militer dan Politik di Indonesia” menerangkan
bahwa pandangan pihak militer terpecah menjadi dua kelompok, namun keduanya
tetap menganut sifat antipartai. Hal ini juga disampaikan oleh A.H. Nasution.
Kelompok pertama adalah kelompok berhalauan keras yang ingin mengubah struktur
politik dengan sistem dwipartai. Berbeda dengan kelompok tersebut, kelompok kedua
adalah kelompok moderat yang cenderung tetap ingin mempertahankan sistem
politik saat itu, dan menginginkan perubahan dilaksanakan secara bertahap dan
alami.
Contoh kasus yang nyata dari
kelompok militan adalah pada tahun 1967, Panglima Divisi Siliwangi HR Dharsono,
didukung oleh Panglima Kostrad Kemal Idris, menyiarkan suatu rencana
menjalankan sistem dwipartai di Jawa Barat. Mereka mengusulkan pembubaran partai-partai
yang ada. Namun usulan-usulan pembubaran partai ini ditolak oleh kelompok
moderat yang berada di sekililing Soeharto pada tahun 1967 dan 1968.
Perbedaan pandangan ini kemudian
dimenangkan oleh kelompok moderat. Alasannya adalah bahwa pembubaran partai
dapat menciptakan pandangan bahwa Orda Baru bersifat diktatorisme. Soeharto
lebih percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui jalan demokrasi, yaitu
melalui pemilu. Pandangan demikian kemudian menimbulkan korelasi antara ABRI
dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde Baru.
Pertama yaitu Golkar. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan
dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap
meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Namun setelah kudeta PKI
tahun 1965, Sekber Golkar perlahan-lahan berubah menjadi partai politik. Selain
itu, seperti kita tahu bersama juga, Presiden Soeharto kemudian menjatuhkan
pilihannya pada Golkar. Jadi, peran ABRI bagi Golkar cukup prominen.
Kedua yaitu Partai Persatuan
Pembangunan. Sejalan dengan maksud pemerintahan untuk melakukan penyederhanaan
partai-partai politik, maka dilaksanakan fusi-fusi partai politik. Hal ini juga
dipicu oleh pendapat Letjen Ali Moertopo pada bulan Mei 1971. Beliau
berpendapat bahwa strukturisasi tidak harus dilakukan melalui pembubaran partai
politik. Ternyata dorongan fusi ini justru disambut baik oleh golongan Islam.
Oleh karena itu, lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973 yang ditandatangani
oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai tersebut tidak
lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
Ketiga yaitu Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). PDI juga merupakan partai yang terbentuk pada praktik fusi
oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat
nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang
menolak dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang
terbentuk ini kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada
Orde Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga
tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Keterlibatan ABRI di sektor
eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar
disebut sebagai hubungan yang bersift simbiosis mutualisme. Contohnya pada
Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira
aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah
tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif.
Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin
Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali
militer.
Selain dalam sektor eksekutif, ABRI
dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor Legislatif. Meskipun militer
bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap
memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya
ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak
dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisir kekuatan
kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi
antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta
adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran
satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan
nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.
2.3 Dampak dari Implementasi
Dwifungsi ABRI
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi system politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi system politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat.
Diantara berbagai dampak negatif
yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi ABRI, berkurangnya jatah
kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Pada masa
Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang
terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan
mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta
Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya
pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu
juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan
Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui
berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai
bidang usaha dan lain sebagainya.
Hal ini pada dasarnya bisa kita
pahami sebagai sebuah pelaksanaan pendekatan patrimonialisme yang dilakukan
oleh Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya. Sebagaimana kita ketahui, pada
awal pemerintahannya Soeharto mengalami masa yang cukup sulit. Pemberontakan
PKI yang terjadi pada tahun 1965 waktu itu menimbulkan goncangan yang cukup
hebat bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan politik
di Indonesia mengalami instabilitas yang sangat hebat. Belum lagi inflasi yang
cukup tinggi hingga ratusan persen membuat perekonomian Indonesia terpuruk
sangat dalam. Dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI, ABRI yang dipimpin oleh
Soeharto waktu itu tampil sebagai pihak yang mampu menumpas kebiadaban PKI.
Tentu saja ini adalah sebuah prestasi yang layak untuk diganjar dengan
penghargaan di mana Soeharto menempatkan banyak Jendral dalam berbagai posisi
pemerintahan. Lebih dari itu, dengan menempatkan jendral-jendral dalam posisi strategis
di pemerintahan, Soeharto sedang berupaya untuk membentuk pola hubungan yang
saling menguntungkan di mana dia ingin menciptakan loyalitas di kalangan elit
dalam hal ini ABRI pada dirinya karena dengan posisi strategis tersebut,
aspirasi para jendral khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan lebih
mudah. Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto menjadi lebih
stabil. Program-program yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga
berhasil dilakukan dengan efektif.
Dominasi dwifungsi ABRI dalam hal
tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang lebih buruk. Dampak tersebut
antara lain adalah: (a). Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak
demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa
taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif
dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan
ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang
inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di
wilayahnya tersebut, (b). Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi
ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan.
Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh
seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan (c). Tidak
berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut
dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak
ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.
Lebih dari itu, dengan adanya
Dwifungsi ABRI, prakter-praktek nepotisme makin tumbuh subur di Indonesia.
Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI memanfaatkan posisi
yang dimiliki untuk kepentingannya masing-masing. Dengan pengaruh yang
dimilikinya mengingat jabatannya baik di bidang militer maupun politik, anggota
ABRI ini berusaha untuk meperluas usaha istrinya, saudaranya, bahkan sepupunya.
Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
Lebih dari itu, dampak positif dari
adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak dirasakan oleh kalangan internal
ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan adanya dwifungsi ABRI, banyak dari
anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan
mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan
di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para Jendral ABRI memiliki
kesejahteraan yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posis-posisi
strategis itu.
Di sisi lain, banyaknya anggota ABRI
yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan
masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang
pemerintahan berimplikasi pada banyaknya dari masyarakat yang ingin menjadi
anggota ABRI. Hal ini merupakan sesuatu yang positif karena dengan banyaknya
orang yang ingin menjadi anggota ABRI maka seleksi bagi orang-orang yang ingin
tergabung dalam militer Indonesia lebih kompetitif.
Pada akhirnya, keberhasilan Presiden
Soeharto untuk menjalankan berbagai macam program pembangunannya menjadi dampak
positif diberlakukannya konsep Dwifungsi ABRI di era orde baru. Dengan adanya
Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri kegiatan politik masyarakat khususnya
yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada di bawah
kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi
pendorong bagi keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah.
Hal ini bisa kita lihat dengan kiprah Fraksi ABRI di DPR-RI yang dengan tegas
memposisikan dirinya sebagai partai pendukung pemerintah. Jika ditambah dengan
suara Golkar, tentu saja setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI
dapat berjalan dengan mulus tidak seperti apa yang kita lihat pada masa
pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Kontribusi tentara bagi bangsa dan
negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan Indonesia tidak dapat terhitung
besarnya, mengingat tentara ini merupakan salah satu ujung tombak dari
kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada masa penjajahan dahulu. Seiring
berjalannya waktu, didukung oleh pergantian pemerintahan Soekarno menjadi
Soeharto dengan ditandai oleh sistem pemerintahan Orde Baru di Indonesia, peran
tentara Indonesia yang kemudian disebut dengan ABRI semakin besar. Dahulu, ABRI
yang hanya bergerak dibidang keamanan dan pertahanan di Indonesia, namun pada
era pemerintahan Soeharto, peranan ABRI merangkap kearah bidang sosial dan
politik. Fungsi ganda ABRI ini kerap dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa dengan status Soeharto sebagai seorang pemimpin yang berasal dari
golongan tentara memicu banyaknya ABRI yang mulai terjun dalam bidang politik
pemerintahan Indonesia. Hal ini juga didukung oleh beberapa statement bahwa
element yang dapat mengatasi ancaman pertahanan dan pembangunan nasional adalah
dengan menyelaraskan peranan ABRI yang tidak lagi hanya bergerak dibidang
hankam tetapi bidang non-hankam. Akibatnya, tak terhitung banyaknya anggota
ABRI yang menjadi anggota DPR, DPRD, atau posisi lainnya dalam birokrasi
pemerintahan di Indonesia.
Banyaknya anggota ABRI yang duduk di
kursi pemerintahan menuai banyak implikasi positif maupun negatif. Implikasi
positif ini cenderung banyak dirasakan oleh para anggota ABRI yang mendominasi
kursi pemerintahan di Indonesia pada era Soeharto. Disisi lain, dampak negatif
cenderung banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia dimana mereka merasakan
sistem pemerintahan Indonesia saat itu berada dalam dominasi ABRI yang memicu
banyaknya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini, jelaslah membawa
dampak yang merugikan untuk bangsa Indonesia sebagai komponen yang seharusnya
dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Basari, Hasan., Seperti yang dikutip dari Huntington, Political Order… ,dalam Ulf Sandhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwifungsi ABRI, trans, LP3ES, Jakarta, 1998.
Budiarjo, Miriam., Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Jenkins, David., Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim militer Indonesia 1975-1983., Komunitas Bambu, Jakarta, 2010.
Muhaimin, Yahya., Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1982.
Notosusanto, N., Pejuang dan Prajurit ,Sinar Harapan, Jakarta, 1984.
Samego, Indria, Bila ABRI Menghendaki : Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI, Penerbit Mizan, Bandung, 1998.
Soebijono, Dwifungsi ABRI : Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
Sumarsono, Tatang., A.H. Nasution di Masa Orde Baru: Lewat Kesaksian Tokoh Eksponen 66, Bakri Tianlean, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
Tambunan, A.S.S., Dwifungsi ABRI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta , 1993.
Yulianto, Arif., Hubungan Sipil dan Militer di Indonesia Pasca ORBA; Di Tengah Pusaran Demokrasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Basari, Hasan., Seperti yang dikutip dari Huntington, Political Order… ,dalam Ulf Sandhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwifungsi ABRI, trans, LP3ES, Jakarta, 1998.
Budiarjo, Miriam., Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Jenkins, David., Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim militer Indonesia 1975-1983., Komunitas Bambu, Jakarta, 2010.
Muhaimin, Yahya., Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1982.
Notosusanto, N., Pejuang dan Prajurit ,Sinar Harapan, Jakarta, 1984.
Samego, Indria, Bila ABRI Menghendaki : Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI, Penerbit Mizan, Bandung, 1998.
Soebijono, Dwifungsi ABRI : Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
Sumarsono, Tatang., A.H. Nasution di Masa Orde Baru: Lewat Kesaksian Tokoh Eksponen 66, Bakri Tianlean, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
Tambunan, A.S.S., Dwifungsi ABRI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta , 1993.
Yulianto, Arif., Hubungan Sipil dan Militer di Indonesia Pasca ORBA; Di Tengah Pusaran Demokrasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
No comments:
Post a Comment