Si
miskin tidak boleh sakit kalimat ini memang ada benarnya. Bagaimana tidak
ketika masyarakat di negeri ini sibuk dengan hiruk pikuk politik, dan para
pejabatnya hanya malah keasikan
bersandiwara untuk mengangkat popularitas dan mempertahankan jabatannya,
ternyata ada sebuah kisah yang memilukan
dinegeri. Bagaimana tidak kisah terlantarnya pasien miskin hingga tewas kembali
terjadi, memang kejadiaan ini adalah hal yang sangat lumrah di negeri ini, dan
terus berulang tanpa di tau bagaimana solusi untuk mengatasinya. Padahal
anggaran untuk kesehatan sangatlah besar di negeri ini. Banyak para pejabat yang menjanjikan pelayanan
kesehatan secara gratis, namun sayang kalimat ini hanya terlontar pada saat
menjelang pemilu saja, dan sesudah pemilu ini bagaikan angin yang berlalu tanpa
ada arah yang jelas akan janji manis tersebut.
Kisah
ini adalah sebuah kisah nyata tentang ketidak adilan terhadap si miskin. Kita
mulai saja ceritanya. Kisah ini terjadi di DKI JAKARTA kurang lebih beberapa
tahun silam. Ada seorang anak bernama
Ana, sepulang sekolah ia merasakan sakit yang luar biasa di bagian
perutnya, orang tuanya mengira anak
mereka hanya mengalami sakit perut biasa, sehingga kedua orang tuanya hanya
membirkannya. Namun keesokan harinya penyakit yang di derita Ana tidak kunjung
membaik sehingga orang tuanya langsung
membawa anaknya kerumah sakit. Dengan bermodal kartu Jakarta Sehat (KJS) yang
di miliki orang tua Ana, mereka langsung membawa anaknya ke salah satu rumah sakit
di wilayah DKI JAKRTA. Sesampainya di rumah sakit yang pertama mereka harus
kecewa karena rumah sakit tersebut menolak mereka dengan alasan rumah sakit
dalam keadaan penuh. Kedua orang tua Ana tidak patah semangat dan kembali membawa Ana kerumah sakit
selanjutnya. Dan beruntung akhirnya ada salah satu rumah sakit kecil yang bersedia
menerima Ana, tetapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa
hari kemudian penyakit yang diderita Ana tidak kunjung sembuh malah semakin
parah. Perut Ana terus membengkak, dan Pihak rumah sakit menganjurkan kepada orang
tua Ana untuk merujuknya kerumah sakit yang lebih besar. Alasan rumah sakit ini
untuk merujuk Ana karena mereka mempunyai keterbatsan peralatan medis untuk
mngobati Ana , apa lagi Ana harus segera di operasi. Demi kesembuhan anaknya
kedua orang tua Ana membawa Ana ke 3 rumah sakit besar namun sayang, tidak ada
satupun rumah sakit yang menerimanya dengan alasan yang sama yaitu tidak
mempunyai kamar kosong untuk menampung Ana. Setelah lelah mencari ruamah sakit
akhirnya Orang tua Ana melaporkan
kejadiaan yang di derita anaknya tersebut ke anggota DPRD, sesudah melapor
kejadian tersebut keanggota dewan akhirnya ada salah satu rumah sakit besar
yang bersedia merawat Ana. Namun akibat penyakit yang di deritannya sangat
parah, akhirnya ana menghembuskan nafas terakhirnya pada pagi tanggal 9 maret.
Andaikan saja Ana cepat di tangani oleh rumah sakit besar pasti kejadiaannya
tidak begini. Namun tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik. Semoga
tidak ada kejadian seperti Ana-Ana yang lain, yang meregang nyawa karena tidak
ada rumah sakit yang mau menerimanya dengan berbagai alasan. Ana tidak sempat
berlama-lama menghirup udara di dunia bukan lantaran orang tuanya tak sayang.
Tetapi dia harus kembali ke pangkuan sang khalik karena mereka miskin,
teraniyaya, dan tak berdaya. Pertanyaanya mengapa nanti kalo ada pejabat yang
turun tangan baru semua memperhatikan? Apa bedanya masyarakat biasa dengan
pejabat! Bukannya para anggota dewan itu adalah utusan rakyat, yang berarti
mereka adalah pesuruh rakyat. Tapi begitulah di negeri ini siapa yang mempunyai
uang dan jabatan ia pasti akan mendapat kehormatan, sedangkan “ Si Miskin”
hanya bak orang hina yang tak berdaya
meratapi keadaan.
Sekian
kisah ketidak adilan tentang fasilitas
pelayanan publik di negeri ini. Semoga kisah ini tidak terulang kembali, betapa
indahnya mimpi kita semua jika negeri ini dapat memberiakan kenyamanan pada
warganya berupa kesehatan gratis, pendidikan murah, sampai taraf hidup yang
layak. Tentu saja, ini tdak hanya untuk segelintir masyarakat, tetapi berlaku
untuk semua warga negara, yang katanya negerinya subur dan makmur ini. Semuanya
bukan mustahil untuk terwujud.
Masalahnya, adakah niat untuk mewujudkan itu semua? Hanya waktu yang bisa
menjawab hal tersebut.